Mayoritas ulama, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan salah satu pendapat para ulama Hanabilah, berpendapat bolehnya menjadikan bekam sebagai profesi dan mendapatkan upah dari membekam.
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekam. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa hal tersebut terlarang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberi upah kepadanya.” (Hr. Bukhari, no. 2159)
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dibekam dan beliau memberi upah kepada tukang bekam. Seandainya beliau mengetahui bahwa upah bekam itu khabits/kotor, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberikannya.” (Hr. Abu Daud, no. 3423; Dinilai shahih oleh al-Albani)
Dari Anas, beliau ditanya tentang hukum mendapatkan upah dari membekam. Beliau menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam. Yang membekamnya adalah Abu Thaibah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dua sha’ gandum kepadanya.” (Hr. Bukhari no. 5371, dan Muslim no. 62)
Seandainya mengupah tukang bekam itu haram, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan melakukannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengizinkan seorang pun untuk makan dari upah jasa membekam.
Selain itu, bekam adalah jasa yang bersifat mubah (diperbolehkan –ed), maka boleh meminta upah dengannya, sebagaimana jasa tukang bangunan dan penjahit. Juga, banyak orang yang membutuhkan bekam, dan tidak semua orang yang pandai membekam mau membekam dengan cuma-cuma. Oleh karena itu, boleh meminta upah dengannya sebagaimana upah menyusui anak orang lain.
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekam. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa hal tersebut terlarang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberi upah kepadanya.” (Hr. Bukhari, no. 2159)
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dibekam dan beliau memberi upah kepada tukang bekam. Seandainya beliau mengetahui bahwa upah bekam itu khabits/kotor, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberikannya.” (Hr. Abu Daud, no. 3423; Dinilai shahih oleh al-Albani)
Dari Anas, beliau ditanya tentang hukum mendapatkan upah dari membekam. Beliau menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam. Yang membekamnya adalah Abu Thaibah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dua sha’ gandum kepadanya.” (Hr. Bukhari no. 5371, dan Muslim no. 62)
Seandainya mengupah tukang bekam itu haram, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan melakukannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengizinkan seorang pun untuk makan dari upah jasa membekam.
Selain itu, bekam adalah jasa yang bersifat mubah (diperbolehkan –ed), maka boleh meminta upah dengannya, sebagaimana jasa tukang bangunan dan penjahit. Juga, banyak orang yang membutuhkan bekam, dan tidak semua orang yang pandai membekam mau membekam dengan cuma-cuma. Oleh karena itu, boleh meminta upah dengannya sebagaimana upah menyusui anak orang lain.