Rokok, memang tidak pernah dikenal di masa-masa awal Islam, sehingga tidak ditemukan dalil tekstual mengenainya. Karena itulah, terjadi perdebatan antar ulama mengenai hukumnya. Ada yang menyatakan boleh, makruh, bahkan ada pula yang menyatakan haram.
Polemik mengenai hal ini, misalnya, terdapat dalam karya asy-Syaukani. Ia menyatakan boleh. Alasan asy-Syaukani, karena tidak dalil yang jelas mengenai rokok, sehingga masuk ke dalam kaidah, “Pada dasarnya semua hal itu halal selagi tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Mengenai pendapat makruh atau haram karena rokok dianggap membahayakan, asy-Syaukani menegaskan bahwa hal tersebut bersifat subyektif yang tidak bisa dijadikan landasan hukum. “Mereka yang mengatakan rokok itu haram harus menampilkan argumennya dan tidak cukup hanya mengatakan kata ini dan itu,” sangkal asy-Syaukani.
Menanggapi pernyataan asy-Syaukani, Abul ‘Ala al-Mubarakfuri menulis dalam Tuhfatul-Ahwadzi, “Memang betul apa yang dikatakan oleh asy-Syaukani bahwa pada dasarnya setiap sesuatu adalah halal, jika tidak ada dalil akan keharamannya. Akan tetapi, perlu dicermati, jika memang benda tersebut memiliki dampak negatif secara cepat atau lambat, maka masalahnya jadi lain. Kenyataannya, makan tembakau atau menghisap asapnya memiliki akibat buruk yang cepat.”
Al-Mubarakfuri menantang untuk melakukan uji coba. “Jika masih ragu akan pengaruh negatif dari rokok, silakan makan seperempat dirham atau seperenam dirham tembakau saja. Kita akan lihat, bagaimana reaksinya. Tembakau akan membuat kepala pusing, dan pandangan mata kabur. Ini membuktikan bahwa tembakau berbahaya bagi kesehatan. Jadi, tanpa diragukan lagi rokok adalah haram karena termasuk membahayakan diri sendiri. Dan, hal itu dalam agama dilarang,” terang al-Mubarakfuri.
Di balik perdebatan dalam ranah hukum agama tersebut, ternyata, di dunia kedokteran juga masih terjadi pro dan kontra, meski tak seberapa runcing. Seorang ahli fisika nuklir dan seorang profesor biologi molekular tak percaya bahwa rokok itu berbahaya dan dapat memicu kanker. Mereka justru menemukan proses unik bahwa rokok dapat dijadikan obat kanker, autis, dan berbagai macam penyakit lainnya.
Hal tersebut terjadi karena menurutnya, asap rokok sebagai partikel nano (1/sepermiliar meter) mudah melakukan penetrasi ke membrane sel untuk menculik mercury di dalam tubuh. Karena mercury itu doyan nikotin maka ia akan pindah dari sel ke asap sehingga terjadilah proses detoks yang kemudian akan menyembuhkan pasien. (www.balur.com).
Sementara itu di Indonesia, rokok dinilai sebagai bagian dari budaya, terutama jenis kretek yang menjadi khas pertanian kita. Rokok juga dinilai memiliki andil dalam pertumbuhan ekonomi sebagai penyumbang pajak yang cukup besar dan menciptakan lapangan kerja dengan jumlah buruh yang ribuan. Gudang Garam saja mempekerjakan sekitar 42.000 buruh di kota Kediri, berarti 17% dari populasi penduduknya yang berjumlah 242.000 jiwa.
Tapi, masalahnya, rokok juga dinilai sebagai biang munculnya beberapa jenis penyakit yang dapat meningkatkan angka kematian. Konon, setiap tahun di Indonesia sebanyak 57 ribu orang meninggal karena menderita penyakit yang disebabkan asap rokok, seperti jantung, paru-paru, kanker mulut, kanker tenggorokan, dan stroke. Menurut data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) 2002, sekitar 500 ribu orang Indonesia saat ini menderita berbagai penyakit akibat rokok.
Saat ini, semakin hari semakin bertambah jumlah pecandu rokok di negeri ini. Tidak hanya pria dewasa yang sudah bekerja, namun anak-anak sekolah juga kaum wanita banyak kecanduan dengan barang yang mengandung zat nikotin ini. Sulitnya bahaya pada rokok tidak hanya menimpa kepada perokok aktif, tapi dapat menimpa pada perokok pasif.
*****
Menyikapi sebuah kontroversi memang membutuhkan kehati-hatian dan sikap arif. Terlebih pemerintah yang memiliki tanggung jawab untuk mengatur. Jangan sampai kita memecahkan masalah, tapi justru memunculkan masalah baru. Ibarat wasit di lapangan sepak bola, pemerintah sebagai pemilik kebijakan harus fair dan tidak berat sebelah. Antara rokok, ekonomi dan kesehatan harus didudukkan secara tepat sehingga menghasilkan maslahat yang umum.
Dalam hal ini, kita memang perlu membandingkan dan memikirkan kembali tentang sisi kemudaratan dan kemanfaatan dari merokok. Dua sisi pandang yang menjadi perdebatan hingga detik ini. Pro rokok menjadikan manfaat berupa pertumbuhan ekonomi sebagai tameng sedang yang kontra menjadikan mudarat pada kesehatan sebagai senjata untuk menyerang. Inilah yang menyebabkan masalah rokok menjadi sebuah persoalan publik karena terkait dengan isu kesehatan masyarakat dan kontribusi pada lapangan kerja karena kemampuan produksi rokok sebagai sumber rezeki jutaan manusia.
Memang, untuk sementara ini mudarat yang tampak dari asap rokok adalah pada kesehatan. Namun di sisi lain, harus diakui tidak sedikit sumbangan dari para pengusaha rokok. Beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa, sponsorship program lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat, pembinaan atlet dan kegiatan olahraga, dan lainnya.
*****
Sebetulnya, terlepas segala pro dan kontra tersebut, larangan merokok tidak begitu masalah bila pemerintah menerapkannya secara bertahap. Tahap pertama adalah membuang aspek ketergantungan ekonomi kepada industri rokok. Industri rokok bukan satu-satunya jalan untuk menggerakkan ekonomi. Masih banyak alternatif yang bisa dilakukan.
Kedua, pemerintah harus membangun budaya hidup sehat di tengah masyarakat melalui sosialisasi dan kampanye anti-rokok. Kemudian diikuti dengan penyuluhan di beberapa tempat, khususnya di kantor-kantor desa dan pasar-pasar. Jika langkah ini efektif dan masyarakat telah sadar dengan kesehatan masing-masing maka dengan sendirinya rokok tidak akan menjadi problem yang harus diperdebatkan.
Sementara ini, sosialisasi anti-rokok hanya dilakukan melalui pemasangan poster di beberapa rumah sakit. Sedangkan iklan produk rokok demikian gencar dipromosikan di televisi, jauh lebih gencar daripada iklan anti-rokok. Jargon “Matikan rokokmu sebelum rokok mematikanmu!” tak pernah muncul di televisi. Padahal, semua orang menonton televisi, dan tidak semua orang masuk ke rumah sakit.
Langkah-langkah tersebut perlu diikuti dengan perbaikan ekonomi di segala sektor dengan cara membuka kran usaha selebar mungkin untuk mengatasi ekses yang dimunculkan saat industri rokok betul-betul melemah. Sehingga, ada banyak pilihan bagi pengusaha, petani tembakau, dan karyawan pabrik untuk mengembangkan usaha mereka, tidak menggantungkan diri pada produksi rokok.
Pada level usaha kerakyatan, birokrasi izin membuka usaha terlalu rumit sehingga melemahkan potensi rakyat untuk berkreasi dalam usaha. Akibatnya, tingkat pengangguran cenderung meningkat karena tidak adanya akses pekerjaan yang memadai. Ketika masyarakat desa eksodus ke kota dengan mengadu nasib menjadi PKL, misalnya, mereka diusir dan disita barangnya. Padahal, mereka sudah kehilangan potensi usaha di desa karena berbagai macam faktor.
Walhasil, meskipun merokok sebuah pilihan asasi manusia, tetapi tetap terbatasi oleh pilihan orang lain yang ingin bebas dari polusi rokok. Untuk itu, gerakan anti-rokok oleh sebagian masyarakat mesti didukung oleh semua pihak. Sebab, bagaimanapun, manfaat merokok sepertinya lebih kecil daripada manfaat tidak merokok. Para perokok pun sebenarnya juga mengakui bahwa merokok itu merugikan kesehatan. Hanya saja, kecanduan membuat mereka sulit melepaskan diri.
Sumber: Buletin SIDOGIRI
Polemik mengenai hal ini, misalnya, terdapat dalam karya asy-Syaukani. Ia menyatakan boleh. Alasan asy-Syaukani, karena tidak dalil yang jelas mengenai rokok, sehingga masuk ke dalam kaidah, “Pada dasarnya semua hal itu halal selagi tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Mengenai pendapat makruh atau haram karena rokok dianggap membahayakan, asy-Syaukani menegaskan bahwa hal tersebut bersifat subyektif yang tidak bisa dijadikan landasan hukum. “Mereka yang mengatakan rokok itu haram harus menampilkan argumennya dan tidak cukup hanya mengatakan kata ini dan itu,” sangkal asy-Syaukani.
Menanggapi pernyataan asy-Syaukani, Abul ‘Ala al-Mubarakfuri menulis dalam Tuhfatul-Ahwadzi, “Memang betul apa yang dikatakan oleh asy-Syaukani bahwa pada dasarnya setiap sesuatu adalah halal, jika tidak ada dalil akan keharamannya. Akan tetapi, perlu dicermati, jika memang benda tersebut memiliki dampak negatif secara cepat atau lambat, maka masalahnya jadi lain. Kenyataannya, makan tembakau atau menghisap asapnya memiliki akibat buruk yang cepat.”
Al-Mubarakfuri menantang untuk melakukan uji coba. “Jika masih ragu akan pengaruh negatif dari rokok, silakan makan seperempat dirham atau seperenam dirham tembakau saja. Kita akan lihat, bagaimana reaksinya. Tembakau akan membuat kepala pusing, dan pandangan mata kabur. Ini membuktikan bahwa tembakau berbahaya bagi kesehatan. Jadi, tanpa diragukan lagi rokok adalah haram karena termasuk membahayakan diri sendiri. Dan, hal itu dalam agama dilarang,” terang al-Mubarakfuri.
Di balik perdebatan dalam ranah hukum agama tersebut, ternyata, di dunia kedokteran juga masih terjadi pro dan kontra, meski tak seberapa runcing. Seorang ahli fisika nuklir dan seorang profesor biologi molekular tak percaya bahwa rokok itu berbahaya dan dapat memicu kanker. Mereka justru menemukan proses unik bahwa rokok dapat dijadikan obat kanker, autis, dan berbagai macam penyakit lainnya.
Hal tersebut terjadi karena menurutnya, asap rokok sebagai partikel nano (1/sepermiliar meter) mudah melakukan penetrasi ke membrane sel untuk menculik mercury di dalam tubuh. Karena mercury itu doyan nikotin maka ia akan pindah dari sel ke asap sehingga terjadilah proses detoks yang kemudian akan menyembuhkan pasien. (www.balur.com).
Sementara itu di Indonesia, rokok dinilai sebagai bagian dari budaya, terutama jenis kretek yang menjadi khas pertanian kita. Rokok juga dinilai memiliki andil dalam pertumbuhan ekonomi sebagai penyumbang pajak yang cukup besar dan menciptakan lapangan kerja dengan jumlah buruh yang ribuan. Gudang Garam saja mempekerjakan sekitar 42.000 buruh di kota Kediri, berarti 17% dari populasi penduduknya yang berjumlah 242.000 jiwa.
Tapi, masalahnya, rokok juga dinilai sebagai biang munculnya beberapa jenis penyakit yang dapat meningkatkan angka kematian. Konon, setiap tahun di Indonesia sebanyak 57 ribu orang meninggal karena menderita penyakit yang disebabkan asap rokok, seperti jantung, paru-paru, kanker mulut, kanker tenggorokan, dan stroke. Menurut data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) 2002, sekitar 500 ribu orang Indonesia saat ini menderita berbagai penyakit akibat rokok.
Saat ini, semakin hari semakin bertambah jumlah pecandu rokok di negeri ini. Tidak hanya pria dewasa yang sudah bekerja, namun anak-anak sekolah juga kaum wanita banyak kecanduan dengan barang yang mengandung zat nikotin ini. Sulitnya bahaya pada rokok tidak hanya menimpa kepada perokok aktif, tapi dapat menimpa pada perokok pasif.
*****
Menyikapi sebuah kontroversi memang membutuhkan kehati-hatian dan sikap arif. Terlebih pemerintah yang memiliki tanggung jawab untuk mengatur. Jangan sampai kita memecahkan masalah, tapi justru memunculkan masalah baru. Ibarat wasit di lapangan sepak bola, pemerintah sebagai pemilik kebijakan harus fair dan tidak berat sebelah. Antara rokok, ekonomi dan kesehatan harus didudukkan secara tepat sehingga menghasilkan maslahat yang umum.
Dalam hal ini, kita memang perlu membandingkan dan memikirkan kembali tentang sisi kemudaratan dan kemanfaatan dari merokok. Dua sisi pandang yang menjadi perdebatan hingga detik ini. Pro rokok menjadikan manfaat berupa pertumbuhan ekonomi sebagai tameng sedang yang kontra menjadikan mudarat pada kesehatan sebagai senjata untuk menyerang. Inilah yang menyebabkan masalah rokok menjadi sebuah persoalan publik karena terkait dengan isu kesehatan masyarakat dan kontribusi pada lapangan kerja karena kemampuan produksi rokok sebagai sumber rezeki jutaan manusia.
Memang, untuk sementara ini mudarat yang tampak dari asap rokok adalah pada kesehatan. Namun di sisi lain, harus diakui tidak sedikit sumbangan dari para pengusaha rokok. Beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa, sponsorship program lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat, pembinaan atlet dan kegiatan olahraga, dan lainnya.
*****
Sebetulnya, terlepas segala pro dan kontra tersebut, larangan merokok tidak begitu masalah bila pemerintah menerapkannya secara bertahap. Tahap pertama adalah membuang aspek ketergantungan ekonomi kepada industri rokok. Industri rokok bukan satu-satunya jalan untuk menggerakkan ekonomi. Masih banyak alternatif yang bisa dilakukan.
Kedua, pemerintah harus membangun budaya hidup sehat di tengah masyarakat melalui sosialisasi dan kampanye anti-rokok. Kemudian diikuti dengan penyuluhan di beberapa tempat, khususnya di kantor-kantor desa dan pasar-pasar. Jika langkah ini efektif dan masyarakat telah sadar dengan kesehatan masing-masing maka dengan sendirinya rokok tidak akan menjadi problem yang harus diperdebatkan.
Sementara ini, sosialisasi anti-rokok hanya dilakukan melalui pemasangan poster di beberapa rumah sakit. Sedangkan iklan produk rokok demikian gencar dipromosikan di televisi, jauh lebih gencar daripada iklan anti-rokok. Jargon “Matikan rokokmu sebelum rokok mematikanmu!” tak pernah muncul di televisi. Padahal, semua orang menonton televisi, dan tidak semua orang masuk ke rumah sakit.
Langkah-langkah tersebut perlu diikuti dengan perbaikan ekonomi di segala sektor dengan cara membuka kran usaha selebar mungkin untuk mengatasi ekses yang dimunculkan saat industri rokok betul-betul melemah. Sehingga, ada banyak pilihan bagi pengusaha, petani tembakau, dan karyawan pabrik untuk mengembangkan usaha mereka, tidak menggantungkan diri pada produksi rokok.
Pada level usaha kerakyatan, birokrasi izin membuka usaha terlalu rumit sehingga melemahkan potensi rakyat untuk berkreasi dalam usaha. Akibatnya, tingkat pengangguran cenderung meningkat karena tidak adanya akses pekerjaan yang memadai. Ketika masyarakat desa eksodus ke kota dengan mengadu nasib menjadi PKL, misalnya, mereka diusir dan disita barangnya. Padahal, mereka sudah kehilangan potensi usaha di desa karena berbagai macam faktor.
Walhasil, meskipun merokok sebuah pilihan asasi manusia, tetapi tetap terbatasi oleh pilihan orang lain yang ingin bebas dari polusi rokok. Untuk itu, gerakan anti-rokok oleh sebagian masyarakat mesti didukung oleh semua pihak. Sebab, bagaimanapun, manfaat merokok sepertinya lebih kecil daripada manfaat tidak merokok. Para perokok pun sebenarnya juga mengakui bahwa merokok itu merugikan kesehatan. Hanya saja, kecanduan membuat mereka sulit melepaskan diri.
Sumber: Buletin SIDOGIRI