Problem di masyarakat modern sudah sangat kompleks.
JOMBANG-Pondok pesantren (ponpes) sebagai lembaga pendidikan dinilai masih lemah dalam menghadapi tantangan global. Hal itu membuat pesantren jarang mencetak lulusan yang tak hanya ahli agama, tetapi juga berwawasan luas serta karismatik.
"Problem di masyarakat sudah sangat kompleks, seperti gerakan radikal dan liberalisasi yang berasal dari luar pesantren. Untuk hadapi tantangan dari luar ini, pesantren masih berat," ujar Pengasuh Ponpes Pascasarjana Nawasea Yogyakarta, Sahiron Syamsudin, Sabtu (14/5).
Pernyataan tersebut disampaikan Sahiron dalam "Sarasehan Budaya Membaca Kekuatan dan Kelemahan Pesantren di Indonesia" di Ponpes Tebuireng Jombang, pimpinan KH Salahuddin Wahid. Turut hadir sebagai pembicara Pengasuh Ponpes Salaf Sidogiri, Mahmud Ali Zein; Ketua Program Kaderisasi Ponpes Modern Gontor, Hamid Fah-my Zarkasyi; dan Pengasuh Al Hikmah Purwoasri Kediri, Noer Chalida Badrus.
Menurut Sahiron, pesantren sulit menghadapi tantangan tersebut lantaran ku-rang merespons perkembangan pengetahuan dan teknologi. Hal ini membuat pesantren sulit memperoleh informasi. "Akibatnya sedikit alumni yang ahli agama, karismatik, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan," ungkapnya.
Parsial
Kedalaman ilmu pengetahuan di pesantren dinilainya masih bersifat parsial. Akibatnya, wawasan para alumni cenderung tidak luas. "Pesantren tidak harus mengajarkan mazhab agamanya saja agar alumni berwawasan luas," ujarnya.
Selain itu, terhambatnya akses ilmu pengetahuan pesantren terjadi lantaran minimnya fasilitas perpustakaan serta kegiatan penelitian. Akibatnya, perkembangan masalah di masyarakat pun hanya ditangkap berdasarkan asumsi. "Pesantren juga masih minim bahasa asing selain Arab," imbuhnya.
Meski demikian, pesantren masih memiliki kekuatan yang bisa dikembangkan. Dia menilai pesantren memiliki kekuatan dalam integritas moral para santri. "Ini yang tidak boleh ditinggalkan dalam pesantren," kata Sahiron.
Hamid Fahmy Zarkasyi menambahkan, jenjang pendidikan di pesantren yang tidak sampai ke tingkat perguruan tinggi (PT) membuat tantangan global sulit dihadapi. Ketiadaan PT dalam pesantren membuat alumnimeneruskan pendidikan di luar. "Tanpa bekal ajaran Islam yang kuat, bisa terpengaruh ide-ide bertentangan dengan Islam.d
Dunia saat jni, dinilainya menghadapi tantangan de-konstruksi pemikiran. Pemikiran teroris merupakan ide dari luar pesantren yang dimasukkan ke pemikiran alumni. "Tidak ada ponpes yang ajarkan buat bom. Kalau ada pemikiran radikal seperti teroris, itu pasti dari luar," ujarnya.
Kualitas santri putri
Selain tantangan global, pesantren juga dihadapkan pada masalah kaderisasi. Regenerasi kiai tidak mudah disiapkan oleh pesantren.
Sementara itu, Noer Chalida Badrus mengatakan, permasalahan di pesantren putri lebih kompleks lagi. "Kitab yang dipelajari santri laki-laki tak sampai dipelajari santri perempuan."
Dia menerangkan, dalam pesantren salaf, pendidikan perempuan kebanyakan tak sampai tingkat aliyah (SMA). "Untuk pesantren semisalaf, pendidikan fokus pada sekolah formal. Kalau formal selesai, ajaran agama tak diteruskan."
Untuk menghadapi tantangan, kata Mahmud, pesantren harus dikelola dengan manajemen profesional dan terbuka. Komunikasi antarpesantren perlu dijalin untuk saling dukung dalam merespons kebutuhan masyarakat. cOl ed nina chairani
Sumber: http://koran.republika.co.id
JOMBANG-Pondok pesantren (ponpes) sebagai lembaga pendidikan dinilai masih lemah dalam menghadapi tantangan global. Hal itu membuat pesantren jarang mencetak lulusan yang tak hanya ahli agama, tetapi juga berwawasan luas serta karismatik.
"Problem di masyarakat sudah sangat kompleks, seperti gerakan radikal dan liberalisasi yang berasal dari luar pesantren. Untuk hadapi tantangan dari luar ini, pesantren masih berat," ujar Pengasuh Ponpes Pascasarjana Nawasea Yogyakarta, Sahiron Syamsudin, Sabtu (14/5).
Pernyataan tersebut disampaikan Sahiron dalam "Sarasehan Budaya Membaca Kekuatan dan Kelemahan Pesantren di Indonesia" di Ponpes Tebuireng Jombang, pimpinan KH Salahuddin Wahid. Turut hadir sebagai pembicara Pengasuh Ponpes Salaf Sidogiri, Mahmud Ali Zein; Ketua Program Kaderisasi Ponpes Modern Gontor, Hamid Fah-my Zarkasyi; dan Pengasuh Al Hikmah Purwoasri Kediri, Noer Chalida Badrus.
Menurut Sahiron, pesantren sulit menghadapi tantangan tersebut lantaran ku-rang merespons perkembangan pengetahuan dan teknologi. Hal ini membuat pesantren sulit memperoleh informasi. "Akibatnya sedikit alumni yang ahli agama, karismatik, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan," ungkapnya.
Parsial
Kedalaman ilmu pengetahuan di pesantren dinilainya masih bersifat parsial. Akibatnya, wawasan para alumni cenderung tidak luas. "Pesantren tidak harus mengajarkan mazhab agamanya saja agar alumni berwawasan luas," ujarnya.
Selain itu, terhambatnya akses ilmu pengetahuan pesantren terjadi lantaran minimnya fasilitas perpustakaan serta kegiatan penelitian. Akibatnya, perkembangan masalah di masyarakat pun hanya ditangkap berdasarkan asumsi. "Pesantren juga masih minim bahasa asing selain Arab," imbuhnya.
Meski demikian, pesantren masih memiliki kekuatan yang bisa dikembangkan. Dia menilai pesantren memiliki kekuatan dalam integritas moral para santri. "Ini yang tidak boleh ditinggalkan dalam pesantren," kata Sahiron.
Hamid Fahmy Zarkasyi menambahkan, jenjang pendidikan di pesantren yang tidak sampai ke tingkat perguruan tinggi (PT) membuat tantangan global sulit dihadapi. Ketiadaan PT dalam pesantren membuat alumnimeneruskan pendidikan di luar. "Tanpa bekal ajaran Islam yang kuat, bisa terpengaruh ide-ide bertentangan dengan Islam.d
Dunia saat jni, dinilainya menghadapi tantangan de-konstruksi pemikiran. Pemikiran teroris merupakan ide dari luar pesantren yang dimasukkan ke pemikiran alumni. "Tidak ada ponpes yang ajarkan buat bom. Kalau ada pemikiran radikal seperti teroris, itu pasti dari luar," ujarnya.
Kualitas santri putri
Selain tantangan global, pesantren juga dihadapkan pada masalah kaderisasi. Regenerasi kiai tidak mudah disiapkan oleh pesantren.
Sementara itu, Noer Chalida Badrus mengatakan, permasalahan di pesantren putri lebih kompleks lagi. "Kitab yang dipelajari santri laki-laki tak sampai dipelajari santri perempuan."
Dia menerangkan, dalam pesantren salaf, pendidikan perempuan kebanyakan tak sampai tingkat aliyah (SMA). "Untuk pesantren semisalaf, pendidikan fokus pada sekolah formal. Kalau formal selesai, ajaran agama tak diteruskan."
Untuk menghadapi tantangan, kata Mahmud, pesantren harus dikelola dengan manajemen profesional dan terbuka. Komunikasi antarpesantren perlu dijalin untuk saling dukung dalam merespons kebutuhan masyarakat. cOl ed nina chairani
Sumber: http://koran.republika.co.id