Beberapa pemikiran hisab rukyah yang ada di Indonesia adalah :
1. Pemikiran hisab rukyah “Mazhab” Tradisional ala Islam Jawa, Pemikiran ini sering disebut dengan pemikiran “Aboge” atau “Asapon” yakni cara penentuan awal ramadan, Syawal dan Dulhijjah dengan bersandarkan pada perhitungan tahun Jawa lama (khuruf Aboge atau khuruf Asapon) dan rukyatul hilal (observasi dengan mata telanjang saat tenggelamnya matahari). Dalam pemikiran “Aboge” ada beberapa prinsip utama, yakni: Pertama, prinsip penentuan tanggal selain berdasarkan kalender Hindu-Muslim-Jawa, adalah “dina niku tukule enjing lan ditanggal dalu” (hari itu lahirnya pagi dan diberi tanggal malam harinya) . Kedua, bahwa jumlah hari dari bulan puasa menurut cara perhitungan “Aboge” selalu genap 30 hari, tidak pernah 29 hari seperti pada cara perhitungan hari Falak (versi pemerintah). Adapun istilah “Aboge” dapat dirinci bahwa “a” berasal dari alip, salah satu dari delapan tahun siklus windu; “bo” mengacu pada rebo (hari Rabu); dan “ge” berasal dari wage, salah satu dari hari pasaran yang lima. Ini berarti bahwa tahun alip selalu dimulai pada hari Rabu Wage, dengan mengetahui ini maka akan dapat menghitung hari jatuh riyaya (hari lebaran) setiap tahun. Cara yang lebih singkat adalah mengambil hari permulaan tahun (1 sura) dan menggunakan rumus “waljiro”. “Wal” adalah bulan Syawal, “ji” berarti tanggal siji (satu), dan “ro” adalah berarti loro (dua), yaitu hari pasarannya. Ini berarti bahwa hari lebaran jatuh pada tanggal 1 Syawal dihitung dengan menghitung satu dari hari mingguan dan dua dari hari pasaran pada permulaan tahun. Misalnya, kalau permulaan tahun itu Ehe, dan tanggal 1 Sura pada hari Ngahad Pon, maka hari lebaran akan jatuh pada hari Ngahad Wage. Ketiga, penentuan awal bulan puasa dan awal bulan Syawal digunakan istilah ”pletek” yang berarti terbukti atau semua masyarakat telah melihat bulan dengan mata telanjang, sebagaimana dasar dari hadis-hadis hisab rukyah. Namun jika ditilik dari perjalanan historis pemikiran hisab rukyah “mazhab” Tradisional ala Islam Jawa, ternyata berasal dari pemikiran hisab rukyah (kalender) Saka yang diperbaharui oleh sultan agung hanyokrokusumo yakni disesuaikan dengan perhitungan lunar (qamariyah) tidak lagi menggunakan sistem perhitungan solar (syamsiyyah). peralihan tersebut terjadi pada tanggal 1 sura tahun alip 1555 (tahun jawa) yang bertepatan dengan tanggal 8 juli 1633 m yakni hari jum’at legi. dari tahun 1633 m sampai sekarang, kalender ini sudah tiga kali mengalami penyesuaian kalender, sehingga sampai sekarang sudah mengalami perubahan empat kali dasar permulaan awal tahun yakni mulai dengan pemikiran hisab rukyah “ajumgi” (tahun alip mulai pada hari jum’at legi), kemudian “akawon” (tahun alip mulia pada hari kamis kliwon), kemudian “aboge” (tahun alip mulai pada hari rebu wage), kemudian “asapon” (tahun alip mulai pada hari selasa pon). metode yang terakhir inilah (pemikiran “asapon”) yang sampai sekarang ini dipegangi oleh mayoritas umat islam jawa (kejawen) terutama di kalangan lingkungan kraton yogyakarta. Melihat realita tersebut, nampak bahwa sampai saat ini ternyata tidak hanya pemikiran “Aboge” saja yang hidup di masyarakat sebagaimana dikatakan Andy Ahmad Zaelany dalam penelitiannya di dusun Golak desa Genteng, Ambarawa. Namun pemikiran “Asapon” yang nota bene pemikiran hisab rukyah “Mazhab” Tradisional yang terbaru juga hidup di masyarakat. Malahan menurut perhitungan kalender Jawa, pemikiran “Aboge” sudah harus diganti dengan pemikiran “Asapon”, tapi dalam dataran realitas ternyata pemikiran “Aboge” masih berlaku juga di kalangan umat Islam Jawa sebagaimana tersebut di atas. Berangkat dari pemikiran tersebut penulis berasumsi bahwa tidak menutup kemungkinan pemikiran-pemikiran yang lain yakni “Akawon” dan “Ajumgi” juga masih berlaku di masyarakat Jawa (Kejawen), hanya saja sampai saat ini penulis belum menemukan jejak pemberlakuanya di masyarakat.
2. Pemikiran hisab rukyah “mazhab” Rukyah. Dalam wacana hisab rukyah di Indonesia, “mazhab” rukyah ini selalu diidentikkan dengan pemikiran hisab rukyah Nahdlatul Ulama. Namun pengidentikkan ini kiranya tidak dapat diterima seratus persen kebenarannya. Karena pada dasarnya dalam “mazhab rukyah” terdapat beberapa “mazhab-mazhab” kecil yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil, dan Nahdlatul Ulama sendiri termasuk salah satu dari “mazhab” kecil tersebut. “mazhab-mazhab” kecil tersebut muncul karena adanya perbedaan pemahaman term rukyah. Di antaranya dalam hal : a. Dalam pemahaman mathla’ . Ada yang berpendapat bahwa hasil rukyah di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Dengan argumentasi bahwa hadis-hadis hisab rukyah khithabnya ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Pemikiran inilah yang terkenal dengan “Rukyah Internasional” yang dipegang oleh Komisi Penyatuan Kalender Hijriyyah Internasional, di mana dalam konteks ke-Indonesia-an adalah kelompok Hizbut Tahrir.
3. Pemikiran hisab rukyah “mazhab” hisab. Sebagaimana dalam pemikiran “mazhab” rukyah, dalam “mazhab” hisabpun terdapat ragam pemikiran “mazhab-mazhab” kecil sebagai dampak dari adanya perbedaan sistem yang dipakai atau yang dipegangi. Di Indonesia sistem hisab yang berkembang pada dasarnya banyak sekali, hanya saja jika ditilik dari dasar pijakannya terbagi dalam dua macam yakni hisab urfi dan hisab hakiki . Hisab urfi dalam konteks ke-Indonesia-an sebagaimana dalam pemikiran hisab rukyah “mazhab” tradisional ala Islam Jawa yang terekam dalam sistem “Aboge” dan sistem ”Asapon”. Sedangkan mengenai hisab hakiki dapat dipilah pada pendirian yang mendasarkan pada ijtima’ yakni sistem yang berpendapat bahwa hakekat bulan Qamariyah itu dimulai sejak terjadinya ijtima’. Dalam kalangan pemikir hisab terkenal dengan istilah “Ijtima’un Nayyirain Isbatun Bainasy-syahrain”, yang sesuai dengan ketentuan astronomi bahwa konjungsi merupakan batas antar dua lunar months. Oleh karena ijtima itu hanya terjadi sekali dalam sebulan dan tidak ada hubungannya dengan tempat-tempat di muka bumi, maka saat ijtima dialami secara berlainan menurut perhitungan waktu setempat. Ijtima bisa terjadi pada pagi hari pada suatu tempat, yang dalam waktu bersamaan saat itu sedang siang hari atau malam hari di tempat lain. Oleh karena itu dalam prakteknya awal bulan Qamariyah ditetapkan berdasarkan ijtima yang terjadi sebelum matahari terbenam atau sebelum tengah malam, atau sebelum terbit fajar, sesuai dengan perbedaan pandangan tentang kapan dimulainya hari. Inilah sistem yang dipakai oleh Muhammad Manshur dalam karya monumentalnya “Sullamun Nayyirain”. Di mana sampai sekarang mengkristal dalam “mazhab” kecil yakni mazhab (kalender) Manshuriyyah, yang banyak dikiblat oleh kalangan hasib-hasib Jawa Timur. Sistem hisab yang mendasarkan pada posisi hilal, yakni penentuan awal bulan Qamariyah tidak hanya didasarkan pada ijtima’ melainkan harus diperhatikan posisi hilal di atas ufuk saat terbenam setelah terjadinya ijtima’ .
Dalam sistem ini terbagi menjadi tiga yakni :
* Sistem yang berpedoman pada ufuk hakiki yakni ufuk yang berjarak 90 derajat dari titik zenith. Prinsip utama dalam sistem ini adalah sudah masuk bulan baru, bila hasil hisab menyatakan hilal sudah di atas ufuk hakiki (positif) walaupun tidak imkanurrukyah. Sehingga sistem ini dikenal dengan sistem hisab wujudul hilal sebagaimana prinsip yang dipegang Muhammadiyah secara institusi.
* Sistem yang berpedoman pada ufuk mar’i yakni ufuk hakiki dengan mempertimbangkan refraksi (bias cahaya) dan tinggi tempat observasi, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh Kalender Menara Kudus.
* Sistem yang berpedoman pada imkanurrukyah dalam posisi hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki atau mar’i, maka awal bulan Qamariyah masih tetap belum dapat ditetapkan, kecuali apabila hilal sudah mencapai posisi yang dinyatakan dapat dilihat
Mengenai sistem imkanurrukyah, pada bulan maret 1998 para ulama ahli hisab dan rukyah dan para perwakilan organisasi masyarakat islam mengadakan musyawarah kriteria imkanurrukyah untuk indonesia. di mana keputusan musyawarahnya baru dihasilkan pada tanggal 28 september 1998. keputusannya adalah :
1. penentuan awal bulan qamariyah didasarkan pada sistem hisab hakiki tahkiki dan atau rukyah .
2. penentuan awal bulan qamariyah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah mahdhah yaitu awal ramadan, syawal dan awal dulhijjah ditetapkan dengan memperhitungkan hisab hakiki tahkiki dan rukyah.
3. kesaksian rukyah dapat diterima apabila ketinggian hilal 2 derajat dan jarak ijtima ke ghurub matahari minimal 8 jam.
4. kesaksian rukyah hilal dapat diterima apabila ketinggian hilal kurang dari dua derajat maka awal bulan ditetapkan berdasarkan istikmal.
5. apabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat ditetapkan.
6. 6. kriteria imkanurrukyah tersebut di atas akan dilakukan penelitian lebih lanjut.
7. menghimbau kepada seluruh pimpinan organisasi kemasyarakatan islam mensosialisasikan keputusan ini.
8. Dalam melaksanakan isbat, pemerintah mendengarkan pendapat-pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli.
Wallahu A’lam bishshowab
1. Pemikiran hisab rukyah “Mazhab” Tradisional ala Islam Jawa, Pemikiran ini sering disebut dengan pemikiran “Aboge” atau “Asapon” yakni cara penentuan awal ramadan, Syawal dan Dulhijjah dengan bersandarkan pada perhitungan tahun Jawa lama (khuruf Aboge atau khuruf Asapon) dan rukyatul hilal (observasi dengan mata telanjang saat tenggelamnya matahari). Dalam pemikiran “Aboge” ada beberapa prinsip utama, yakni: Pertama, prinsip penentuan tanggal selain berdasarkan kalender Hindu-Muslim-Jawa, adalah “dina niku tukule enjing lan ditanggal dalu” (hari itu lahirnya pagi dan diberi tanggal malam harinya) . Kedua, bahwa jumlah hari dari bulan puasa menurut cara perhitungan “Aboge” selalu genap 30 hari, tidak pernah 29 hari seperti pada cara perhitungan hari Falak (versi pemerintah). Adapun istilah “Aboge” dapat dirinci bahwa “a” berasal dari alip, salah satu dari delapan tahun siklus windu; “bo” mengacu pada rebo (hari Rabu); dan “ge” berasal dari wage, salah satu dari hari pasaran yang lima. Ini berarti bahwa tahun alip selalu dimulai pada hari Rabu Wage, dengan mengetahui ini maka akan dapat menghitung hari jatuh riyaya (hari lebaran) setiap tahun. Cara yang lebih singkat adalah mengambil hari permulaan tahun (1 sura) dan menggunakan rumus “waljiro”. “Wal” adalah bulan Syawal, “ji” berarti tanggal siji (satu), dan “ro” adalah berarti loro (dua), yaitu hari pasarannya. Ini berarti bahwa hari lebaran jatuh pada tanggal 1 Syawal dihitung dengan menghitung satu dari hari mingguan dan dua dari hari pasaran pada permulaan tahun. Misalnya, kalau permulaan tahun itu Ehe, dan tanggal 1 Sura pada hari Ngahad Pon, maka hari lebaran akan jatuh pada hari Ngahad Wage. Ketiga, penentuan awal bulan puasa dan awal bulan Syawal digunakan istilah ”pletek” yang berarti terbukti atau semua masyarakat telah melihat bulan dengan mata telanjang, sebagaimana dasar dari hadis-hadis hisab rukyah. Namun jika ditilik dari perjalanan historis pemikiran hisab rukyah “mazhab” Tradisional ala Islam Jawa, ternyata berasal dari pemikiran hisab rukyah (kalender) Saka yang diperbaharui oleh sultan agung hanyokrokusumo yakni disesuaikan dengan perhitungan lunar (qamariyah) tidak lagi menggunakan sistem perhitungan solar (syamsiyyah). peralihan tersebut terjadi pada tanggal 1 sura tahun alip 1555 (tahun jawa) yang bertepatan dengan tanggal 8 juli 1633 m yakni hari jum’at legi. dari tahun 1633 m sampai sekarang, kalender ini sudah tiga kali mengalami penyesuaian kalender, sehingga sampai sekarang sudah mengalami perubahan empat kali dasar permulaan awal tahun yakni mulai dengan pemikiran hisab rukyah “ajumgi” (tahun alip mulai pada hari jum’at legi), kemudian “akawon” (tahun alip mulia pada hari kamis kliwon), kemudian “aboge” (tahun alip mulai pada hari rebu wage), kemudian “asapon” (tahun alip mulai pada hari selasa pon). metode yang terakhir inilah (pemikiran “asapon”) yang sampai sekarang ini dipegangi oleh mayoritas umat islam jawa (kejawen) terutama di kalangan lingkungan kraton yogyakarta. Melihat realita tersebut, nampak bahwa sampai saat ini ternyata tidak hanya pemikiran “Aboge” saja yang hidup di masyarakat sebagaimana dikatakan Andy Ahmad Zaelany dalam penelitiannya di dusun Golak desa Genteng, Ambarawa. Namun pemikiran “Asapon” yang nota bene pemikiran hisab rukyah “Mazhab” Tradisional yang terbaru juga hidup di masyarakat. Malahan menurut perhitungan kalender Jawa, pemikiran “Aboge” sudah harus diganti dengan pemikiran “Asapon”, tapi dalam dataran realitas ternyata pemikiran “Aboge” masih berlaku juga di kalangan umat Islam Jawa sebagaimana tersebut di atas. Berangkat dari pemikiran tersebut penulis berasumsi bahwa tidak menutup kemungkinan pemikiran-pemikiran yang lain yakni “Akawon” dan “Ajumgi” juga masih berlaku di masyarakat Jawa (Kejawen), hanya saja sampai saat ini penulis belum menemukan jejak pemberlakuanya di masyarakat.
2. Pemikiran hisab rukyah “mazhab” Rukyah. Dalam wacana hisab rukyah di Indonesia, “mazhab” rukyah ini selalu diidentikkan dengan pemikiran hisab rukyah Nahdlatul Ulama. Namun pengidentikkan ini kiranya tidak dapat diterima seratus persen kebenarannya. Karena pada dasarnya dalam “mazhab rukyah” terdapat beberapa “mazhab-mazhab” kecil yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil, dan Nahdlatul Ulama sendiri termasuk salah satu dari “mazhab” kecil tersebut. “mazhab-mazhab” kecil tersebut muncul karena adanya perbedaan pemahaman term rukyah. Di antaranya dalam hal : a. Dalam pemahaman mathla’ . Ada yang berpendapat bahwa hasil rukyah di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Dengan argumentasi bahwa hadis-hadis hisab rukyah khithabnya ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Pemikiran inilah yang terkenal dengan “Rukyah Internasional” yang dipegang oleh Komisi Penyatuan Kalender Hijriyyah Internasional, di mana dalam konteks ke-Indonesia-an adalah kelompok Hizbut Tahrir.
3. Pemikiran hisab rukyah “mazhab” hisab. Sebagaimana dalam pemikiran “mazhab” rukyah, dalam “mazhab” hisabpun terdapat ragam pemikiran “mazhab-mazhab” kecil sebagai dampak dari adanya perbedaan sistem yang dipakai atau yang dipegangi. Di Indonesia sistem hisab yang berkembang pada dasarnya banyak sekali, hanya saja jika ditilik dari dasar pijakannya terbagi dalam dua macam yakni hisab urfi dan hisab hakiki . Hisab urfi dalam konteks ke-Indonesia-an sebagaimana dalam pemikiran hisab rukyah “mazhab” tradisional ala Islam Jawa yang terekam dalam sistem “Aboge” dan sistem ”Asapon”. Sedangkan mengenai hisab hakiki dapat dipilah pada pendirian yang mendasarkan pada ijtima’ yakni sistem yang berpendapat bahwa hakekat bulan Qamariyah itu dimulai sejak terjadinya ijtima’. Dalam kalangan pemikir hisab terkenal dengan istilah “Ijtima’un Nayyirain Isbatun Bainasy-syahrain”, yang sesuai dengan ketentuan astronomi bahwa konjungsi merupakan batas antar dua lunar months. Oleh karena ijtima itu hanya terjadi sekali dalam sebulan dan tidak ada hubungannya dengan tempat-tempat di muka bumi, maka saat ijtima dialami secara berlainan menurut perhitungan waktu setempat. Ijtima bisa terjadi pada pagi hari pada suatu tempat, yang dalam waktu bersamaan saat itu sedang siang hari atau malam hari di tempat lain. Oleh karena itu dalam prakteknya awal bulan Qamariyah ditetapkan berdasarkan ijtima yang terjadi sebelum matahari terbenam atau sebelum tengah malam, atau sebelum terbit fajar, sesuai dengan perbedaan pandangan tentang kapan dimulainya hari. Inilah sistem yang dipakai oleh Muhammad Manshur dalam karya monumentalnya “Sullamun Nayyirain”. Di mana sampai sekarang mengkristal dalam “mazhab” kecil yakni mazhab (kalender) Manshuriyyah, yang banyak dikiblat oleh kalangan hasib-hasib Jawa Timur. Sistem hisab yang mendasarkan pada posisi hilal, yakni penentuan awal bulan Qamariyah tidak hanya didasarkan pada ijtima’ melainkan harus diperhatikan posisi hilal di atas ufuk saat terbenam setelah terjadinya ijtima’ .
Dalam sistem ini terbagi menjadi tiga yakni :
* Sistem yang berpedoman pada ufuk hakiki yakni ufuk yang berjarak 90 derajat dari titik zenith. Prinsip utama dalam sistem ini adalah sudah masuk bulan baru, bila hasil hisab menyatakan hilal sudah di atas ufuk hakiki (positif) walaupun tidak imkanurrukyah. Sehingga sistem ini dikenal dengan sistem hisab wujudul hilal sebagaimana prinsip yang dipegang Muhammadiyah secara institusi.
* Sistem yang berpedoman pada ufuk mar’i yakni ufuk hakiki dengan mempertimbangkan refraksi (bias cahaya) dan tinggi tempat observasi, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh Kalender Menara Kudus.
* Sistem yang berpedoman pada imkanurrukyah dalam posisi hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki atau mar’i, maka awal bulan Qamariyah masih tetap belum dapat ditetapkan, kecuali apabila hilal sudah mencapai posisi yang dinyatakan dapat dilihat
Mengenai sistem imkanurrukyah, pada bulan maret 1998 para ulama ahli hisab dan rukyah dan para perwakilan organisasi masyarakat islam mengadakan musyawarah kriteria imkanurrukyah untuk indonesia. di mana keputusan musyawarahnya baru dihasilkan pada tanggal 28 september 1998. keputusannya adalah :
1. penentuan awal bulan qamariyah didasarkan pada sistem hisab hakiki tahkiki dan atau rukyah .
2. penentuan awal bulan qamariyah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah mahdhah yaitu awal ramadan, syawal dan awal dulhijjah ditetapkan dengan memperhitungkan hisab hakiki tahkiki dan rukyah.
3. kesaksian rukyah dapat diterima apabila ketinggian hilal 2 derajat dan jarak ijtima ke ghurub matahari minimal 8 jam.
4. kesaksian rukyah hilal dapat diterima apabila ketinggian hilal kurang dari dua derajat maka awal bulan ditetapkan berdasarkan istikmal.
5. apabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat ditetapkan.
6. 6. kriteria imkanurrukyah tersebut di atas akan dilakukan penelitian lebih lanjut.
7. menghimbau kepada seluruh pimpinan organisasi kemasyarakatan islam mensosialisasikan keputusan ini.
8. Dalam melaksanakan isbat, pemerintah mendengarkan pendapat-pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli.
Wallahu A’lam bishshowab