Oleh Fathurrahman Karyadi
Jika ditanya tentang dunia tulis-menulis, mahasiswa Yogjakarta pastilah berperan. Hampir setiap hari, koran nasional memuat tulisan mereka.
Tak puas dengan itu, mereka mendirikan komunitas untuk menampung gagasannya. Dari ide itu, terbitlah buku-buku, koran, buletin, kaos, stiker serta desain “banner” unik yang menghiasi kota Gudeg.
Salah satu komunitas itu adalah Matapena. Komunitas ini didirikan menjelang tahun 2006 oleh sekumpulan mahasiswa dari berbagai bidang dan perguruan di Yogja. Mereka adalah pecinta sastra. Mayoritas adalah alumni pondok pesantren. Oleh karena itu tema yang dikaji adalah sastra remaja pesantren.
Komunitas Matapena sudah menerbitkan 30 buku terdiri dari novel, antologi cerpen dan himpunan puisi. Semuanya ditulis mahasiswa dan santri. Komunitas ini juga mengadakan roadshow tentang kepenulisan dan sastra tak kurang dari 150 lembaga pendidikan di Indonesia.
Kini Rumah Kreatif Matapena beralamat di Jl. Lingkar Selatan Wojo 182 Rt.06 Gg. Nakulo, Bangunharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta. Anda juga bisa mengaksesnya di situs http://matapenajogja.blogspot.com.
Pesantren dan Sastra
Dalam kacamata pendidikan, tidak ada perbedaan mendasar antara kampus dan pesantren. Kampus adalah tempat pengajaran ilmu bagi peserta didik lulusan SMA. Begitu pula Pesantren, lembaga pendidikan yang menaungi peserta didik dari berbagai jenjang pendidikan.
Sistem pengajaran pun tak jauh berbeda. Di samping guru menerangkan, peserta didik juga dituntut bisa presentasi. Istilah di pesantren adalah sistem bandhongan dan sorogan.
Jika di kampus ada ujian tengah dan akhir semester, di pesantren ada istilah Imtihan. Keduanya tak punya perbedaan jauh terkait kurikulum, sistem dan budaya. Perbedaan hanya pada penggunaan istilah. Misalnya, di kampus guru disebut dosen, sedangkan di pesantren bergelar kiai atau ustadz. Peserta didik di kampus itu mahasiswa, di pesantren disapa santri.
Sebenarnya di kampus dan pesantren, sentuhan sastra sudah menjadi budaya. Sayangnya, tak ditumbuhkembangkan. Seorang mahasiswa atau santri yang jatuh cinta kepada lawan jenisnya suka menuangkan perasaannya dengan menulis puisi. Itu adalah sastra.
Atau, kisah yang ia alami dalam satu hari didokumentasikan ke dalam buku harian menjadi cerita. Itu adalah embrio novel. Ibaratnya, seperti yang diungkapkan Lan Fang, novelis dan pembina KOPI SARENG (Komunitas Pecinta Sastra Tebuireng), “Karya mereka laksana mutiara yang tinggal dipoles agar lebih berkilau.” (Kompas, 21/6/2011)
Berkreasi di Kaliopak
Komunitas Matapena memiliki agenda tahunan, Liburan Sastra di Pesantren (LSdP). Tahun ini (LSdP #6) dilaksanakan pada 24-26 Juni 2011 di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta yang dipimpin Jadul Maula. Diikuti oleh sekitar 60 peserta dari berbagai universitas dan pesantren di Yogja, Wonosobo, Pati, Jepara, Kudus, Tasikmalaya, Indramayu, Jombang dan Madura. Kami bertujuh dari Tebuireng Jombang.
Awalnya kami hendak mengisi libur semesteran di rumah. Akan tetapi, karena acara ini terasa penting dan mengasyikkan, kami bertolak ke Jogja. Selain itu, pihak pesantren juga mendesak kami ikut. Kami yang masuk dalam komunitas KOPI SARENG menjadi rujukan teman-teman.
Hanya dengan membayar Rp. 100.000,- panitia telah menyediakan asrama penginapan plus makan tiga kali sehari. Kami berlibur sastra, belajar sambil bermain. Para novelis, cerpenis dan sastrawan muda ikut membimbing kami. Diantaranya; Isma Kaze, Akhiryati Sundari, Saefuddin Amsa, Moh. Mahrus, Ma’rifatun Baroroh, Mahbub, Damhuri, Zakki Zarung, Pijer, Fina, Peppy, M. Daroini dan masih banyak lagi. Hadir pula sastrawan Slamet Gundhono dengan orasi budaya.
Panitia sebenarnya mengundang sastrawan yang lahir dari pesantren, tetapi banyak yang berhalangan hadir. Seperti diungkapkan Isma Kaze “Kami sudah berniat mengajak M. Faizi (penyair asal Madura), namun beliau ada undangan ke Jerman untuk membacakan puisinya ” katanya. Sastrawan pesantren pun bisa bersaing di dunia sastra Internasional.
Kegiatan dalam LSdP#6 itu dimulai sejak subuh (seusai shalat), olahraga bersama lalu sarapan. Setelah itu ada materi tentang sastra dan komunitas seperti; perkenalan 12 nilai pengembangan kunci pribadi dan sosial, motivasi menulis, menggali ide, membuat setting cerita, penokohan dan alur. Agar suasana lebih cair ada acara menarik pemutaran film MataPena rayon Tasikmalaya, out bond penanaman nilai sambil berkarya, tugas membuat cerpen sekali duduk, tahlilan sastra, seni panggung dan teater.
Kami mendapat banyak manfaat dari liburan itu. Di samping mendapat banyak ilmu, bisa kenal banyak teman antarkampus dan pesantren. Rencana ke depan, kami—tim tujuh—akan membuat buletin atau majalah dinding yang terbit setiap bulan sekali. Selama ini banyak komunitas sastra di pesantren. Sayang mereka hanya mengadakan diskusi, perlombaan, atau bedah buku tanpa menerbitkan sesuatu.
Nah, oleh-oleh dari acara LSdP#6 ini salah satunya adalah membuat karya. Kita harus pede sekalipun hasilnya mungkin kurang maksimal. Belajar menghasilkan, bukan hanya sekedar ocehan…
Bagi yang belum memiliki kesempatan mengikuti acara tersebut, tahun depan Matapena akan mengadakan LSdP #7.
*Dimuat di Kompas, 9/8/11
**Mahasiswa Ma’had Aly Tebuireng Jombang